“How did you kill those chickens?”
Nai, anak berusia lima tahun, dengan polos bertanya kepada Harper, tantenya, bagaimana ayam yang disajikan di meja makan dibunuh. Dengan kapak atau pisau? Tantenya tentu saja kelimpungan menjawab pertayaan itu. Ia tak pernah repot membunuh ayam. Ia hanya perlu ke super market dan membeli daging yang siap dimasak. Tidak seperti Nai yang harus berburu hewan di hutan untuk makan sehari-hari.
Pertanyaan Nai itu hanya satu dari sekian keunikan dalam film ini. Bersiaplah untuk film yang menyajikan keunikan sebagai premis utamanya: Captain Fantastic. Kita, pemirsanya, secepatnya akan dituntun untuk mengagumi sebuah keluarga yang hidup dengan cara tak lazim. Ini adalah surat berisi mosi tidak percaya ditujukan kepada dunia modern dengan segala konsumerismenya. Dikemas dengan jenaka, lugu, dan, tentu saja, unik.
Leslie Cash tak muluk-muluk ketika mengirim surat perpisahan kepada ibunya agar tak perlu lagi mengkhawatirkan pilihan hidupnya. Leslie menulis pesan “We created a paradise out of Plato’s republic.” Ia tahu ia akan baik-baik saja bersama Ben, suaminya, dan anak-anak mereka. Belasan tahun mereka hidup mengisolasi diri, sepuluh tahunnya di hutan Northwest Pasifik. Kecuali untuk dunia luar, anak-anak mereka benar-benar dipersiapkan untuk segalanya.
Keluarga ini tahu cara menyembuhkan tulang yang patah, atau mengobati luka bakar. Mereka paham sistem navigasi berdasarkan bintang dalam keadaan gelap total. Survive di tengah hutan hanya dengan sebuah pisau malah menjadi hobi sehari-hari. Ini semacam versi sukses dari keadaan sama dalam Lord of the Flies (1990).
Jawaban Ben Cash bahwa “I’m saving their lives,” juga tak terdengar konyol ketika ditanyai oleh adiknya, Harper, tentang pola asuh anak. Sistem sekolah rumahan yang ditempa anak-anak Ben toh diakui oleh Harper lebih berbobot ketimbang pendidikan berbayar yang dikonsumsi keluarga umum. Dengan jadwal teratur, sejak dini anak-anak Ben mempelajari buku dan materi-materi berat. Novel Lolita karangan Vladimir Nabokov, rumus fisika kuantum, sampai pemikiran Noam Chomsky adalah gizi bagi intelektual mereka. Mereka juga bikin iri karena mampu berbicara dalam enam bahasa. Proses belajar anak-anak Ben mungkin menjawab bahwa kecerdasan Will dalam Good Will Hunting (1997) tidak datang tiba-tiba.
Ah, ketika dengan begitu asyiknya “bercanda” soal fasisme, kapitalisme, hingga marxisme, rasanya keluarga ini secara tersirat mengolok-olok: “Untuk apa berdebat soal itu semua di kampus atau kantor bersama orang-orang berkemeja jika bisa melakukannya di rumah dengan keluarga sendiri?” Yang makin mengasyikkan, seusai melakoni peran guru-murid, Ben dan anak-anaknya mendengarkan musik Johann Sebastian Bach. Atau masing-masing memainkan alat musik lalu bernyanyi dan menari bersama. Buku meningkatkan kemampuan otak kiri, sementara otak kanan serahkanlah pada musik, demikian petunjuk yang sering kita dengar. Maka tak berlebihan jika kuulangi: keluarga ini benar-benar mempersiapkan segalanya.
Demikianlah Captain Fantastic menawarkan premis yang unik dibanding film-film lain. Tentang parenting sebuah keluarga dan bagaimana mereka memilih hidup dengan cara unorthodox. Secara singkat, pesannya bisa disimpulkan dengan: ayo buat duniamu sendiri yang lebih baik, bukan dengan berteriak di jalan dan memaki keadaan.
Lompatan kuantum terjadi pada keluarga ini ketika Leslie yang dirawat di rumah sakit karena penyakit jiwa, memutuskan untuk bunuh diri. Menerima kabar kematian Leslie, Ben lalu memberitahu anak-anaknya dengan cara tembak-langsung dan tanpa tedeng aling-aling. Seolah-olah bunuh diri adalah pilihan yang telah lama diniatkan oleh Leslie.
Leslie meninggalkan wasiat, sebagai penganut Buddhism—yang menurutnya adalah filosofi dan bukan agama yang terorganisasi—ia ingin jasadnya dikremasi. Sebuah wasiat yang sukar karena bertentangan dengan cara ayah dan ibu Leslie yang beragama Kristen. Maka, demi “misi menyelamatkan ibu”, Ben dan anak-anaknya pergi ke New Mexico menaiki Steve, bus yang direnovasi dan diisi tumpukan buku-buku. Dengan begitu pula keluarga ini mengalami tabrakan antara idealisme dan realitas yang mereka tolak.
Perjumpaan antara anak-anak Ben dan “dunia” seirama dengan Jack dalam Room (2015). Namun, atmosfer dengan bumbu roadtrip yang dihadirkan lebih mengingatkan Captain Fantastic pada Litle Miss Sunshine (2006). Roadtrip berisi kritik tersirat keluarga Ben terhadap pakem-pakem yang kadung diamini oleh mayoritas masyarakat. Kritik yang tentu disampaikan dengan jenaka. Aku tersenyum saat anak-anak Ben heran melihat orang-orang gemuk. Namun pada saat yang sama mereka tak bisa mengatai orang gemuk itu “Dasar kudanil!” karena akan melanggar semboyan keluarga: “We don’t make fun of people—except the christians.”
Demikian pula uniknya keluarga ini dalam memaknai kata-kata. Lebih baik mana antara menutup-nutupi—demi sopan santun—atau berkata blak-blakan dalam mengajar anak? Di satu sisi meja, Harper dan Dave, suaminya, tak ingin anak-anaknya—yang tak alang-kepalang kecanduan nge-game dan tak mempan ditegur—mengetahui sebab kematian Leslie. Sementara di sisi meja lainnya, Ben tak hanya menceritakan peristiwa iris nadi Leslie, tetapi sampai memberi pengetahuan tentang anggur, penyakit bipolar, dan sabu.
Menyenangkan melihat Viggo Mortensen kembali tampil ciamik, meski kali ini ia tak dikelilingi oleh para Hobbit. Berkeriput dan berberewok, Mortensen memerankan seorang ayah bergaya Nietzsche yang menjadi kapten bagi keluarganya. Ia menampilkan sosok ayah otoriter sekaligus jenaka yang disayangi oleh anak-anaknya. Lebih dari itu, ia mampu secara berkala mengilustrasikan kepala keluarga yang diam-diam berada di ambang batas antara kasih sayang dan tindakan brutal dalam mendidik anak. Ayah macam apa yang melatih anak-anaknya dengan “misi membebaskan makanan” dari super market? Atau lebih mengajak mereka merayakan Hari Noam Chomsky(?) ketimbang Natal?
Namun demikian, Captain Fantastic bukanlah film one man show. Keenam anaknya bukanlah tempelan di latar melainkan berprogres dengan keunikannya masing-masing dalam simpul-simpul cerita. Mereka berenam adalah Bodevan, Vespyr, Kielyr, Rellian, Zaja, dan Nai. Betapa kurang ajarnya Ben menanamkan keunikan kepada anak-anaknya sejak pemberian nama. Seperti kata si sulung Bo, “Our names are unique. There’s only one of us in the whole world.”
Setiap karakter anak-anak Ben sungguh mudah disukai. Vespyr dan Kielyr, dua gadis kembar 15 tahun yang pemberani. Tak hanya memanjat tebing, mereka tak sungkan beradu argumen dengan ayahnya menggunakan bahasa Esperanto. Zaja, gadis delapan tahun yang hafal Bill of Rights, bahkan menganalisisnya dengan kata-kata sendiri. Nai, putra terakhir yang pertanyaannya kerap memancing tawa sekaligus decak kagum. Belum lagi kebiasaannya yang ogah berpakaian. Sifat yang ia warisi dari Ben. Perpaduan konyol antara polosnya Nai dan tembak-langsungnya Ben adalah ketika keduanya berbincang tentang mengapa pria memasukkan penisnya ke dalam vagina wanita.
Namun, yang paling memengaruhi plot adalah Bo dan Rellian. Bo sudah 18 tahun dan tak pernah berhubungan dengan wanita selain keluarganya. Diam-diam ia diterima di semua kampus bergengsi. Ia yang paling sering menyadarkan ayahnya jika sudah keterlaluan. Bo adalah teman dalam obrolan dewasa bagi ayahnya. Termasuk soal pilihan pendidikannya. “Unless it comes out of a fucking book, i don’t know anything about anything!” demikian kata Bo.
Sementara Rellian anak lelaki 13 tahun mulai tergiur oleh video game, rumah, dan lingkungan “normal”. Sejak awal film Rell memperlihatkan mimik tak akur dengan keanehan yang diajarkan ayahnya. Kekecewaannya memuncak ketika ibunya wafat. Namun, hebatnya, meski berbeda sikap tak ada satupun anggota keluarga yang menganggap Rell pemberontak.
Sutradara sekaligus penulis naskah, Matt Ross, tak berbeli-belit menyampaikan cerita ini. Durasi 119 menit terasa cepat karena kemampuan storytelling Ross memang apik. Dalam beberapa adegan, Ross memancing kita membuat kesimpulan. Pilihan novel Lolita yang bercerita tentang lelaki tua mengencani gadis belia paralel dengan pola asuh Ben. Kita bisa memahami ketulusan Ben sebagai ayah yang ingin hal terbaik bagi anaknya. Namun pada saat yang sama kita tahu bahwa Ben sudah berlebihan dengan “mengurung” mereka jauh dari dunia sesungguhnya.
Captain Fantastic bukanlah film dengan akhir yang dramatis. Ross mengakhirinya hanya dengan sebuah prosesi surealis yang editingnya biasa saja. Pelarian satu adegan ke adegan berikutnya tak mengejar akhir yang membuncah. Setiap bagian dalam film ini seakan menjadi proses pengumpulan surat-surat yang tidak disetujui ataupun ditolak di akhir cerita. Dan meski ini film indie, semua pesan di sini tak dibuat memaksa. Soal idealisme, Ben yang seorang anarchist-survivalist dalam beberapa hal mengalah pada realitas. Kendati ia tetap saja sukses menanamkan sikap kritis kepada anak-anaknya.
Lantunan musik yang digarap oleh Alex Somer begitu memikat dan sering mengantarkan perpindahan adegan menjadi demikian manis. Begitu pula dengan sinematografi garapan Stephane Fontaine sangat memanjakan mata dan menguatkan kesan visual pada cerita yang mengalir.
Akhirnya, tibalah saatnya bagi sanjungan puncak. Puan dan Tuan, sambutlah film terbaik 2016 menurut versiku: Captain Fantastic. Salah satu film yang kumasukkan ke dalam daftar film yang kesan positifnya menancap di otakku. Sebuah after-taste mengagumkan. Saking kagumnya, saat film ini usai, aku sampai berdiri dan bertepuk tangan berlagak menjadi hipster di bioskop. Padahal aku menontonnya di indekos melalui laptop.
Mungkin bagai pungguk merindukan bulan jika berharap Captain Fantastic mendapat penghargaan serupa versi Oscars. Namun, setidaknya film ini layak untuk semakin banyak ditonton dan didiskusikan. Agar semakin banyak pula kritik terhadap konsep-konsep yang jangan-jangan keliru tapi dengan mudahnya diterima. Lupakan Captain America, inilah kapten yang lebih fantastik.
Kira-kira begitu.