Captain Fantastic, Surat dari Rimba Raya

aduh1

“How did you kill those chickens?”

Nai, anak berusia lima tahun, dengan polos bertanya kepada Harper, tantenya, bagaimana ayam yang disajikan di meja makan dibunuh. Dengan kapak atau pisau? Tantenya tentu saja kelimpungan menjawab pertayaan itu. Ia tak pernah repot membunuh ayam. Ia hanya perlu ke super market dan membeli daging yang siap dimasak. Tidak seperti Nai yang harus berburu hewan di hutan untuk makan sehari-hari.

Pertanyaan Nai itu hanya satu dari sekian keunikan dalam film ini. Bersiaplah untuk film yang menyajikan keunikan sebagai premis utamanya: Captain Fantastic. Kita, pemirsanya, secepatnya akan dituntun untuk mengagumi sebuah keluarga yang hidup dengan cara tak lazim. Ini adalah surat berisi mosi tidak percaya ditujukan kepada dunia modern dengan segala konsumerismenya. Dikemas dengan jenaka, lugu, dan, tentu saja, unik.

Leslie Cash tak muluk-muluk ketika mengirim surat perpisahan kepada ibunya agar tak perlu lagi mengkhawatirkan pilihan hidupnya. Leslie menulis pesan “We created a paradise out of Plato’s republic.” Ia tahu ia akan baik-baik saja bersama Ben, suaminya, dan anak-anak mereka. Belasan tahun mereka hidup mengisolasi diri, sepuluh tahunnya di hutan Northwest Pasifik. Kecuali untuk dunia luar, anak-anak mereka benar-benar dipersiapkan untuk segalanya.

Keluarga ini tahu cara menyembuhkan tulang yang patah, atau mengobati luka bakar. Mereka paham sistem navigasi berdasarkan bintang dalam keadaan gelap total. Survive di tengah hutan hanya dengan sebuah pisau malah menjadi hobi sehari-hari. Ini semacam versi sukses dari keadaan sama dalam Lord of the Flies (1990).

Jawaban Ben Cash bahwa “I’m saving their lives,” juga tak terdengar konyol ketika ditanyai oleh adiknya, Harper, tentang pola asuh anak. Sistem sekolah rumahan yang ditempa anak-anak Ben toh diakui oleh Harper lebih berbobot ketimbang pendidikan berbayar yang dikonsumsi keluarga umum. Dengan jadwal teratur, sejak dini anak-anak Ben mempelajari buku dan materi-materi berat. Novel Lolita karangan Vladimir Nabokov, rumus fisika kuantum, sampai pemikiran Noam Chomsky adalah gizi bagi intelektual mereka. Mereka juga bikin iri karena mampu berbicara dalam enam bahasa. Proses belajar anak-anak Ben mungkin menjawab bahwa kecerdasan Will dalam Good Will Hunting (1997) tidak datang tiba-tiba.

Ah, ketika dengan begitu asyiknya “bercanda” soal fasisme, kapitalisme, hingga marxisme, rasanya keluarga ini secara tersirat mengolok-olok: “Untuk apa berdebat soal itu semua di kampus atau kantor bersama orang-orang berkemeja jika bisa melakukannya di rumah dengan keluarga sendiri?” Yang makin mengasyikkan, seusai melakoni peran guru-murid, Ben dan anak-anaknya mendengarkan musik Johann Sebastian Bach. Atau masing-masing memainkan alat musik lalu bernyanyi dan menari bersama. Buku meningkatkan kemampuan otak kiri, sementara otak kanan serahkanlah pada musik, demikian petunjuk yang sering kita dengar. Maka tak berlebihan jika kuulangi: keluarga ini benar-benar mempersiapkan segalanya.

Demikianlah Captain Fantastic menawarkan premis yang unik dibanding film-film lain. Tentang parenting sebuah keluarga dan bagaimana mereka memilih hidup dengan cara unorthodox. Secara singkat, pesannya bisa disimpulkan dengan: ayo buat duniamu sendiri yang lebih baik, bukan dengan berteriak di jalan dan memaki keadaan.

Lompatan kuantum terjadi pada keluarga ini ketika Leslie yang dirawat di rumah sakit karena penyakit jiwa, memutuskan untuk bunuh diri. Menerima kabar kematian Leslie, Ben lalu memberitahu anak-anaknya dengan cara tembak-langsung dan tanpa tedeng aling-aling. Seolah-olah bunuh diri adalah pilihan yang telah lama diniatkan oleh Leslie.

Leslie meninggalkan wasiat, sebagai penganut Buddhism—yang menurutnya adalah filosofi dan bukan agama yang terorganisasi—ia ingin jasadnya dikremasi. Sebuah wasiat yang sukar karena bertentangan dengan cara ayah dan ibu Leslie yang beragama Kristen. Maka, demi “misi menyelamatkan ibu”, Ben dan anak-anaknya pergi ke New Mexico menaiki Steve, bus yang direnovasi dan diisi tumpukan buku-buku. Dengan begitu pula keluarga ini mengalami tabrakan antara idealisme dan realitas yang mereka tolak.

Perjumpaan antara anak-anak Ben dan “dunia” seirama dengan Jack dalam Room (2015). Namun, atmosfer dengan bumbu roadtrip yang dihadirkan lebih mengingatkan Captain Fantastic pada Litle Miss Sunshine (2006). Roadtrip berisi kritik tersirat keluarga Ben terhadap pakem-pakem yang kadung diamini oleh mayoritas masyarakat. Kritik yang tentu disampaikan dengan jenaka. Aku tersenyum saat anak-anak Ben heran melihat orang-orang gemuk. Namun pada saat yang sama mereka tak bisa mengatai orang gemuk itu “Dasar kudanil!” karena akan melanggar semboyan keluarga: “We don’t make fun of people—except the christians.”

Demikian pula uniknya keluarga ini dalam memaknai kata-kata. Lebih baik mana antara menutup-nutupi—demi sopan santun—atau berkata blak-blakan dalam mengajar anak? Di satu sisi meja, Harper dan Dave, suaminya, tak ingin anak-anaknya—yang tak alang-kepalang kecanduan nge-game dan tak mempan ditegur—mengetahui sebab kematian Leslie. Sementara di sisi meja lainnya, Ben tak hanya menceritakan peristiwa iris nadi Leslie, tetapi sampai memberi pengetahuan tentang anggur, penyakit bipolar, dan sabu.

Menyenangkan melihat Viggo Mortensen kembali tampil ciamik, meski kali ini ia tak dikelilingi oleh para Hobbit. Berkeriput dan berberewok, Mortensen memerankan seorang ayah bergaya Nietzsche yang menjadi kapten bagi keluarganya. Ia menampilkan sosok ayah otoriter sekaligus jenaka yang disayangi oleh anak-anaknya. Lebih dari itu, ia mampu secara berkala mengilustrasikan kepala keluarga yang diam-diam berada di ambang batas antara kasih sayang dan tindakan brutal dalam mendidik anak. Ayah macam apa yang melatih anak-anaknya dengan “misi membebaskan makanan” dari super market? Atau lebih mengajak mereka merayakan Hari Noam Chomsky(?) ketimbang Natal?

Namun demikian, Captain Fantastic bukanlah film one man show. Keenam anaknya bukanlah tempelan di latar melainkan berprogres dengan keunikannya masing-masing dalam simpul-simpul cerita. Mereka berenam adalah Bodevan, Vespyr, Kielyr, Rellian, Zaja, dan Nai. Betapa kurang ajarnya Ben menanamkan keunikan kepada anak-anaknya sejak pemberian nama. Seperti kata si sulung Bo, “Our names are unique. There’s only one of us in the whole world.”

Setiap karakter anak-anak Ben sungguh mudah disukai. Vespyr dan Kielyr, dua gadis kembar 15 tahun yang pemberani. Tak hanya memanjat tebing, mereka tak sungkan beradu argumen dengan ayahnya menggunakan bahasa Esperanto. Zaja, gadis delapan tahun yang hafal Bill of Rights, bahkan menganalisisnya dengan kata-kata sendiri. Nai, putra terakhir yang pertanyaannya kerap memancing tawa sekaligus decak kagum. Belum lagi kebiasaannya yang ogah berpakaian. Sifat yang ia warisi dari Ben. Perpaduan konyol antara polosnya Nai dan tembak-langsungnya Ben adalah ketika keduanya berbincang tentang mengapa pria memasukkan penisnya ke dalam vagina wanita.

Namun, yang paling memengaruhi plot adalah Bo dan Rellian. Bo sudah 18 tahun dan tak pernah berhubungan dengan wanita selain keluarganya. Diam-diam ia diterima di semua kampus bergengsi. Ia yang paling sering menyadarkan ayahnya jika sudah keterlaluan. Bo adalah teman dalam obrolan dewasa bagi ayahnya. Termasuk soal pilihan pendidikannya. “Unless it comes out of a fucking book, i don’t know anything about anything!” demikian kata Bo.

Sementara Rellian anak lelaki 13 tahun mulai tergiur oleh video game, rumah, dan lingkungan “normal”. Sejak awal film Rell memperlihatkan mimik tak akur dengan keanehan yang diajarkan ayahnya. Kekecewaannya memuncak ketika ibunya wafat. Namun, hebatnya, meski berbeda sikap tak ada satupun anggota keluarga yang menganggap Rell pemberontak.

Sutradara sekaligus penulis naskah, Matt Ross, tak berbeli-belit menyampaikan cerita ini. Durasi 119 menit terasa cepat karena kemampuan storytelling Ross memang apik. Dalam beberapa adegan, Ross memancing kita membuat kesimpulan. Pilihan novel Lolita yang bercerita tentang lelaki tua mengencani gadis belia paralel dengan pola asuh Ben. Kita bisa memahami ketulusan Ben sebagai ayah yang ingin hal terbaik bagi anaknya. Namun pada saat yang sama kita tahu bahwa Ben sudah berlebihan dengan “mengurung” mereka jauh dari dunia sesungguhnya.

Captain Fantastic bukanlah film dengan akhir yang dramatis. Ross mengakhirinya hanya dengan sebuah prosesi surealis yang editingnya biasa saja. Pelarian satu adegan ke adegan berikutnya tak mengejar akhir yang membuncah. Setiap bagian dalam film ini seakan menjadi proses pengumpulan surat-surat yang tidak disetujui ataupun ditolak di akhir cerita. Dan meski ini film indie, semua pesan di sini tak dibuat memaksa. Soal idealisme, Ben yang seorang anarchist-survivalist dalam beberapa hal mengalah pada realitas. Kendati ia tetap saja sukses menanamkan sikap kritis kepada anak-anaknya.

Lantunan musik yang digarap oleh Alex Somer begitu memikat dan sering mengantarkan perpindahan adegan menjadi demikian manis. Begitu pula dengan sinematografi garapan Stephane Fontaine sangat memanjakan mata dan menguatkan kesan visual pada cerita yang mengalir.

Akhirnya, tibalah saatnya bagi sanjungan puncak. Puan dan Tuan, sambutlah film terbaik 2016 menurut versiku: Captain Fantastic. Salah satu film yang kumasukkan ke dalam daftar film yang kesan positifnya menancap di otakku. Sebuah after-taste mengagumkan. Saking kagumnya, saat film ini usai, aku sampai berdiri dan bertepuk tangan berlagak menjadi hipster di bioskop. Padahal aku menontonnya di indekos melalui laptop.

Mungkin bagai pungguk merindukan bulan jika berharap Captain Fantastic mendapat penghargaan serupa versi Oscars. Namun, setidaknya film ini layak untuk semakin banyak ditonton dan didiskusikan. Agar semakin banyak pula kritik terhadap konsep-konsep yang jangan-jangan keliru tapi dengan mudahnya diterima. Lupakan Captain America, inilah kapten yang lebih fantastik.

Kira-kira begitu.

Jangan Jual Idealisme

gm

“Jangan bicara soal idealisme

Mari bicara berapa banyak uang di kantong kita”

Sebuah petikan lirik lagu Iwan Fals berjudul “Jangan Bicara” yang dirilis pada 1984. Selaiknya lagu-lagu Iwan yang lain, lagu ini juga merupakan gambaran sebuah realitas pada masanya. “Jangan Bicara” mengulas tentang banyaknya kalangan yang dengan lantang meneriakkan idealismenya namun tidak memahami secara mendalam idealisme yang dipilihnya. Hasilnya, ketika penguasa “menawarkan” diri menjadi sekutu, idealisme tersebut habis digerogoti kehidupan yang lebih mapan.

Tampaknya, realitas di masa tersebut masih membudaya hingga kini. Banyak individu yang ketika masih menjadi mahasiswa mengatasnamakan diri aktivis. Tanpa ragu meneriakkan hak-hak rakyat kecil—padahal kehidupannya sendiri bahkan jauh dari kata menderita—di setiap kesempatan. Dengan dalih membawa tujuan mulia guna mengubah sistem, mereka masuk ke sistem. Namun pada akhirnya justru terjerumus pada praktik-praktik kotor.

Sebutlah Anas Urbaningrum, mantan petinggi salah satu partai di Indonesia. Sebagai aktivis sepak terjang Anas tidak perlu diragukan. Pernah mengetuai salah satu organisasi mahasiswa yang cukup besar menjadi bukti sahihnya. Namun berbeda peran berbeda situasi. Ketika bukan lagi menjadi mahasiswa, Anas justru terjerat tindakan korupsi yang dulu ia tentang.

Anas hanya satu dari sekian contoh aktivis dengan pemahaman idealisme rendah yang terjangkit tabiat “lupa daratan”. Yakni ketika mahasiswa sedikit mengalami reposisi yang mengarah pada pragmatisme ideologis. Jauh-jauh hari, dalam pidato kebudayaan pada 1977, Mochtar Lubis mengatakan ciri manusia Indonesia adalah hipokrit (munafik), tentu saja tanpa maksud menggeneralisasi.

Kita masih punya banyak panutan ideal. Soe Hok Gie, aktivis angkatan ’66, misalnya, seorang yang jujur dan lurus. Dalam sebuah catatan, Hok Gie pernah mengutarakan kekecewaan dengan cara yang elegan. Kepada teman-teman seperjuangannya yang membelot menikmati kekuasaan, Hok Gie mengirim paket berisi bedak, gincu, dan kaca. Ia mempersilakan mereka memperpantas diri agar terlihat “cantik” di depan penguasa.

Sebagai mahasiswa, perkara yang harus kita cermati adalah sejauh mana kita mampu mendalami idealisme dan mempertahankannya hingga telah di luar dunia mahasiswa. Konsistensi menjadi isu utama. Bukan malah menjadi olok-olok bahwa idealisme hanya mainan mahasiswa saja. Ketika sudah tidak lagi menjadi mahasiswa, idealisme tidak perlu dipertahankan. Idealisme dianggap bertabrakan dengan realitas. Sampai muncul keraguan, bagaimana mempertemukan idealisme dengan realitas. Padahal, idealisme adalah realitas itu sendiri. Pemahaman ini boleh saja jauh dari akar katanya. Di mana “ide” berarti dunia di dalam jiwa pemikiran. Sebuah pandangan Plato yang menekankan halhal bersifat ide, dan merendahkan fisik dan materi.

Saat ini, kita mengejawantahkan idealisme sebagai hidup atau upaya untuk hidup menurut cita-cita yang dianggap sempurna. Idealisme yang bukan hanya mendalam akan teori namun dangkal pada realitas. Melainkan kesadaran untuk menjembatani keduanya. Paling utama, mahasiswa harus bisa mencegah distorsi idealisme meski kelak telah berbeda peran. Jangan sampai lagu yang Iwan Fals tulis puluhan tahun silam itu masih relevan sampai sekarang—atau mungkin memang masih relevan?

Hikayat Orang Kampung

25989378

Judul : Anak-Anak Masa Lalu
Pengarang : Damhuri Muhammad
Penerbit : Marjin kiri
Tahun Terbit : 2015
Tebal : 121 halaman

Mitos tidak pernah benar-benar hilang oleh tawaran modernitas. Kenyataannya, mitos tetap ada di mana-mana. Manusia-manusia urban sekalipun, belum sepenuhnya terlepas dari mitos. Tengok saja pada kota-kota besar yang menghindari pemakaian angka 4 dan 13 di gedunggedung mewah.

Melalui kumpulan cerita pendek Anak-Anak Masa Lalu, Damhuri Muhammad mengajak kita merefleksikan pelbagai perspektif kampung, seperti tradisi, legenda, dan mitos itu sendiri.

Payung tematik kumcer—yang terpilih menduduki 10 besar kusala Literary Award 2015—ini adalah kenangan tentang kampung halaman dan masa lalu. Dalam epilognya, Damhuri menuturkan bahwa kampung halaman lebih banyak menyisakan derita dan nestapa ketimbang keriangan, apalagi kerinduan yang menyala-nyala.

Namun demikian, terhadap kenangan-kenangan yang telah memfosil di kepalanya itu, Damhuri meneroka dan “memberi mereka nyawa” (hal.119) hingga menjadi hidangan cerita yang enak dan empuk untuk dibaca.

Mitos tentang ilmu hitam yang tak lepas dari dunia kampung dapat kita temui dalam cerpen “Tembiluk“. Kisahnya tentang seorang tuan yang mampu hidup abadi tetapi menerima kemalangan dalam sebuah ritual. Narasi tentang mitos juga dapat kita cerna pada cerpen lain. Simaklah “Badar Besi” yang memuat kisah orang-orang yang amat percaya pada batu yang membuat badan kebal. Cerpen ini menyuguhkan keadaan di mana dulu dan sekarang, kita tetap begitu memercayai sifat keramat pada benda-benda.

Sementara itu, dalam cerpen “Anak-Anak Masa Lalu”yang juga menjadi judul buku ini—kita mendapati praktik mistik oleh seorang kontraktor. Ketika kepala bocah-bocah kampung setempat disembelih untuk tumbal di balik kokohnya pembangunan sebuah jembatan. Cerpen satiris ini sekaligus mempertanyakan bahwa, tidakkah kita selalu menggembargemborkan pembangunan fisik dalam setiap kata modernitas? Padahal pembangungan fisik itu justru seringkali mengorbankan rakyat.

Adapun melalui cerpen “Luka Kecil di Jari Kelingking”, Damhuri memandang sebuah tragedi besar dari sudut pandang yang acap kali tak dihiraukan banyak orang. Bahwa nasib lain selalu terjadi di balik tragedi besar. Berkisah tentang seorang ibu yang ditinggal Wi, anak semata wayangnya, lantaran menjadi buron pascatragedi 1965. Si ibu harus membiasakan diri menerima pesan-pesan rahasia yang dibawa oleh para penyamar suruhan Wi. Hanya melalui para penyamar itulah si ibu dapat mengetahui kabar Wi. Sambil setia menunggu para pembawa pesan yang kadang menyamar sebagai pedagang barang pecah belah maupun pekerjaan lain, si ibu senantiasa berharap kepulangan Wi lebih cepat dari ajalnya.

Di cerpen “Banun”, kita diperlihatkan pada sebuah getir wanita tua yang dipergunjingkan lantaran prinsipnya sebagai petani. Orang-orang kampung menjulukinya “Banun kikir”. Anak-anaknya memprotes tabiat kikirnya yang menakjubkan. Hingga akhirnya, kepada anak-anaknya, ia menyingkap ajaran mendiang suaminya. Ia menjelaskan kata tani sebagai penyempitan dari “tahani”, yang dalam terjemahan bahasa masa kini berarti “menahan diri” (hal. 26). Menahan diri dari keharusan membeli segala sesuatu selama kebutuhannya dapat dipenuhi dengan bercocok tanam. Di masa kini, tinjaulah iklan–iklan modernitas yang mengarahkan kita pada laku konsumtif. Maka keteguhan Banun itu adalah antitesis konsumerisme.

Tak melulu mengangkat cerita kampung yang bersusila, dalam cerpen “Rumah Amplop“, Damhuri menyetir kita pada keamoralan orang kampung. Tentang seorang pegawai negeri sipil yang haus harta. Menerima suap dari mereka yang ingin memenangkan proyek adalah hal biasa. Karena itulah si “aku” menamai rumahnya sebagai “rumah amplop” lantaran hampir tiap hari selalu ada amplop yang diterima ayahnya.

Kumcer ini akan lebih mengena jika kita lebih dahulu membaca epilognya. Sebab, di epilog inilah kita dipertemukan dengan latar belakang atau basis sekaligus konteks kemunculan setiap cerpennya. Pada akhirnya, tanpa bermaksud membenarkan ataupun menyalahkan, Damhuri memilih untuk lebih melihat kejernihan dari hal-hal berbau “kampungan”.

Ihwal Film Biopic

be55f88563902a9515669514a896e7c1

Film biopic dan film sejarah acap kali menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang menggerundel dari para penontonnya. Dan pertanyaan besar dalam tiap film biopic atau film sejarah adalah apakah film sejarah harus persis sama dengan fakta sejarah yang—jika mau banal—sebetulnya juga merupakan interpretasi dan rekonstruksi sejarawan?

Sineas Dennis Bingham mendefinisikan biopic (biographical motion picture), yang belakangan menjadi genre terpisah dari film sejarah, sebagai sebuah film yang mengisahkan kehidupan seorang tokoh nyata dan memberi tahu mengapa kehidupannya penting diangkat menjadi sebuah film.

Genre film ini memang kian dikenal di industri perfilman Indonesia. Lihat saja daftar film yang dibuat sineas Indonesia setidaknya sejak reformasi. Dimulai dari Gie (Riri Riza, 2005), Sang Pencerah (Hanung Bramantyo, 2010), sampai Jenderal Sudirman (Viva Westi, 2015). Belum lagi film yang rencananya segera dibuat, seperti Hanung akan memfilmkan kisah Kartini, dan Erwin Arnada menyutradarai film tentang Mohammad Hatta.

Pertanyaan akan kesesuaian isi film biopic atau film sejarah dengan fakta sejarah sebenarnya bisa diselesaikan—lebih-lebih memang tak perlu diperkarakan—jika penonton (juga sineas) mau memahami esensi film sejarah. Sebab film sejarah berbeda dengan film dokumenter. Dalam sebuah diskusi di Komunitas Salihara, Leila S. Chudori, jurnalis Tempo, yang juga rutin menulis resensi film di majalah tersebut, mengatakan, meski mengangkat kisah hidup tokoh nyata tetapi dalam film sejarah kisah itu diadaptasi ke dalam bentuk film cerita.

Maka, selaiknya sebuah cerita, dramatisasi menjadi unsur yang mafhum untuk disertakan. Jadi tak perlu heran jika menyaksikan dalam film The Imitation Game, atasan Alan Turing begitu mempersulit pekerjaannya. Padahal, sebagaimana diutarakan Benedict Cumberbatch (pemeran Turing) dalam sebuah wawancara, atasan Turing sebetulnya justru sangat kooperatif dalam mendukung perkerjaannya.

Permasalahan dalam genre film ini justru dalam pemanfaatan lisensi puitika. Seberapa jauh sutradara mampu memasukkan unsur fiktif yang meyakinkan ke dalam film hingga tak “ketahuan” oleh penonton. Dalam salah satu adegan film garapan Garin Nugroho, keluarga Tjokroaminoto digambarkan bermain piano dan berjoget diiringi lagu “Surabaya Johnny”. Setting adegan ini kemudian dianggap terlalu modern dan tak sesuai zamannya. Terlebih, alih-alih bermain piano dan bernyanyi, wanita Jawa kalangan priayi akan lebih memanfaatkan waktu untuk mengurusi anak. Ini bukan sekadar perkara anakronisme tetapi lebih kepada logika adegan yang tidak meyakinkan.

Pemilihan tokoh yang diangkat dalam film biopic Indonesia juga masih terbatas pada nama-nama besar (pahlawan nasional). Kalaupun mengangkat tokoh yang kurang populer, seperti film 3 Nafas Likas (Rako Prijanto, 2014) yang mengangkat cerita hidup Likas Tarigan, istri seorang pahlawan nasional Letjen Djamin Gintings, sosok Likas terkesan hanya sebagai aksesoris sang pahlawan nasional, Djamin. Tantangan untuk menunjukkan bahwa tak perlu nama besar untuk bisa menyumbangkan khazanah pengetahuan tentang masa lalu bangsa ini melalui film, menurut hemat saya, belum mampu dijawab sineas kita.

Inisiatif produksi film biopic hampir selalu datang dari orang-orang terdekat, organisasi, maupun yayasan yang berkepentingan mengangkat tokoh sejarah tersebut. Dengan kata lain, dalam kondisi demikian peran sutradara terkadang hanya sebagai pelaksana teknis. Sebab ide awal pembuatan film sudah menjadi pesanan pihak yang berkepentingan. Kerja sama macam itu tentu boleh-boleh saja. Namun, mengingat pihak yang berkepentingan tak hanya berperan dalam ide awal tapi juga suplai dana, berarti mereka memiliki intervensi yang besar.

Dalam produksi film Tjokroaminoto, Garin melibatkan Yayasan Tjokroaminoto untuk bekerja sama. Penggambaran sampai image tokoh pun dijaga ketat. Watak tokoh dalam film jadi terkesan jaim dan lurus-lurus saja sebab sutradara tak bisa mengorek baik-buruk tokohnya. Padahal, sebagai sebuah cerita, film biopic ataupun film sejarah dituntut menyajikan cerita yang jujur  sekaligus dramatis.

Menuntut agar film sejarah sesuai dengan fakta sejarah tentu adalah hal yang keliru. Sebab, utamanya, menelaah sejarah haruslah dengan teks sejarah—yang mesti melewati tahapan heuristik, verifikasi, dan interpretasi yang ketat. Sedangkan film sejarah sebagai sebuah cerita berada dalam peran membantu mengilustrasi peristiwa masa lampau. Kendati pun, sineas juga tak boleh sembarangan membuat adegan yang mekso seperti mengharuskan keluarga Tjokro berjoget diiringi lagu “Surabaya Johnny”!